Prinsip Pemantauan Hak Asasi Manusia

Pemantauan (monitoring) adalah istilah yang umum digunakan oleh berbagai pihak dan dapat dipahami secara berbeda. Namun secara umum pemantauan dapat diartikan sebagai aktifitas yang terdiri dari pengumpulan, verifikasi dan penggunaan informasi. Dalam diskursus HAM, pemantauan ditujukan untuk mengidentifikasi persoalan hak asasi manusia yang terjadi. Beberapa aktifitas umum yang dilakukan dalam melakukan pemantauan adalah pengumpulan informasi tentang sebuah kejadian/peristiwa, melakukan observasi (pemilu, pengadilan, demonstrasi dan lain-lain), kunjungan ke lokasi seperti tempat penahanan atau kamp pengungsi, mengambil informasi dari pihak pemerintah untuk mendorong adanya proses pemulihan bagi korban.

Dalam melakukan pemantauan terdapat beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dan digunakan sebagai standar dalam bekerja, yaitu:

Prinsip 1: Tidak menimbulkan kerugian (Do no harm)
Inti dari prinsip ini adalah bahwa investigasi pelanggaran HAM tidak boleh menimbulkan kerugian lebih lanjut pada para korban. Meskipun pengumpulan informasi sangat penting dalam pemantauan hak asasi manusia, hal ini tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan keselamatan fisik orang lain pada tahap apa pun serta kesehatan emosional dan mental korban. Sebagai aturan umum, para praktisi harus mewawancarai korban hanya ketika memang benar-benar diperlukan dengan tetap menghormati prinsip ini. Dalam kasus di mana praktisi tidak dapat memperoleh informasi tanpa risiko kepada korban atau calon korban, atau wawancara yang akan dilakukan dapat menyebabkan kerugian, baik fisik maupun psikologis, dan perlindungan tidak tersedia, maka praktisi tidak boleh melakukan wawancara. Menjunjung tinggi prinsip do no harm juga mencakup melindungi kerahasiaan orang yang diwawancarai.

Prinsip 2: Menghormati mandat yang diberikan.
Seluruh praktisi harus memastikan bahwa semua pemantau memahami mandat yang diberikan sesuai proyek. Pemantau harus memahami bagaimana pemantauan yang sesuai dengan mandat, tindakan apa yang diizinkan di dalam mandat, pertimbangan etis serta potensi bahaya yang mungkin timbul. Menghormati mandat juga termasuk menghormati batasan-batasan antara pemantau dan para pihak yang diwawancarai (responden). Pemantau harus mengingat bahwa responden adalah orang yang diwawancarai murni untuk tujuan pemantauan, tidak boleh bersifat mencari teman ataupun menasihati, dan harus menjaga batasan profesional. Jika pemantau menyadari bahwa responden memerlukan bantuan, maka ia dapat memberikan rujukan yang sesuai.

Prinsip 3: Memahami standar yang berlaku
Praktisi harus mengetahui dan memahami standar dan hukum yang berlaku, termasuk standar hak asasi manusia internasional dan regional yang relevan. Selain itu, praktisi juga harus mengetahui dan memahami hukum, kebijakan, dan praktik domestik yang relevan. Hal ini termasuk hukum federal, negara bagian, dan lokal, serta kebijakan dan pedoman yang dikeluarkan oleh badan-badan negara yang berbeda. Misalnya, ketika memantau respons pemerintah terhadap kekerasan dalam rumah tangga, anggota tim tidak hanya harus memahami peraturan perundang-undangan, tetapi juga harus berupaya untuk mendapatkan protokol kepolisian, kejaksaan, penyedia jasa kesehatan, perlindungan anak, kebijakan dukungan masyarakat dan korban, dan badan peradilan. Selain itu, para praktisi juga harus memeriksa masalah ini secara luas untuk menentukan apakah standar yang lebih umum yang mungkin juga berlaku. Misalnya, protokol yang terkait dengan korban kejahatan, meskipun tidak spesifik untuk kekerasan dalam rumah tangga, mungkin masih berlaku.

Prinsip 4: Melakukan penilaian yang baik
Ketika memantau pelanggaran hak asasi manusia, situasi tak terduga dapat muncul yang mengharuskan praktisi untuk mengubah protokol pemantauan. Ketika memutuskan apakah akan menyimpang dari protokol yang ditetapkan dan tindakan spesifik apa yang harus diambil, praktisi harus selalu menggunakan penilaian terbaiknya dan mematuhi sebanyak mungkin prinsip-prinsip pemantauan lainnya, terutama yang tidak membahayakan dan menghormati mandat yang diberikan dalam proyek.

Prinsip 5: Melakukan konsultasi
Praktisi harus berkomunikasi dengan anggota tim dan pemimpin selama tahap pemantauan dan berkonsultasi ketika suatu hal yang sulit muncul. Tanya jawab rutin setelah wawancara dapat membantu menjaga kesesuaian dengan mandat. Tanya jawab juga akan memungkinkan tim untuk terus mengevaluasi proses dan mengidentifikasi pola awal, kesenjangan, dan tindak lanjut. Selain itu, praktisi mungkin ingin berkonsultasi dengan para ahli seperti korban/penyintas, advokat, akademisi, atau penyedia layanan. Para ahli dapat membantu dalam berbagai tahap proses. Mereka dapat membantu mengembangkan atau memeriksa pertanyaan wawancara untuk pemangku kepentingan yang berbeda, atau memberikan nasihat hukum tentang konsekuensi potensial bagi peserta dalam proyek pemantauan. Selain itu, mungkin bermanfaat untuk berkonsultasi dengan advokat atau korban untuk menentukan rekomendasi apa yang mereka yakini paling baik untuk mempromosikan hak-hak korban.

Prinsip 6: Menghormati pihak yang berwenang
Praktisi harus mengingat peran mereka sebagai pencari fakta yang objektif serta harus selalu menghormati peran dan tanggung jawab pihak berwenang. Tujuan pemantauan secara umum adalah mengubah atau merangsang respons negara terhadap situasi HAM tertentu. Melakukan pemantauan yang bersifat ‘saling menghormati’ dapat menjaga peluang keterlibatan positif dengan aktor pemerintah dan pembuat keputusan dalam tahapan advokasi. Pengawas dapat menunjukkan rasa hormat dengan mematuhi undang-undang dan peraturan setempat, dengan meminta izin resmi untuk melakukan kegiatan pemantauan, dan dengan menggunakan bahasa yang sopan dan profesional setiap saat. Sebagai bagian dari prinsip ini, praktisi mungkin perlu hati-hati menilai siapa saja pihak yang mereka pilih untuk tim untuk memastikan tidak ada risiko atau konflik dengan pihak berwenang.

Prinsip 7: Kredibilitas
Praktisi harus berusaha untuk menjaga kredibilitas mereka dan organisasi yang mereka wakili. Prinsip ini juga berlaku terhadap pihak yang diwawancarai serta masyarakat luas. Kredibilitas sangat penting untuk keberhasilan pemantauan, dokumentasi, dan advokasi. Individu, termasuk korban, saksi, informan, pembuat kebijakan, atau media sekalipun akan lebih terbuka untuk memberikan informasi yang dapat diandalkan jika mereka mempercayai organisasi dan proyek yang sedang dijalankan. Kredibilitas juga penting dalam melakukan presentasi temuan. Dampak dari setiap inisiatif advokasi akan tergantung pada keakuratan fakta-fakta yang menjadi dasarnya. Jika praktisi tidak dapat menjamin keakuratan dan objektivitas, maka hasilnya mungkin tidak akan membantu baik untuk kegiatan advokasi maupun bagi komunitas yang terdampak.

Prinsip 8: Transparansi
Praktisi harus terbuka dan transparan tentang organisasi, proyek yang sedang dilakukan serta proses pelaksanaannya tanpa mengorbankan kerahasiaan. Metodologi yang transparan memungkinkan praktisi untuk menjelaskan setiap langkah yang diambil untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia dan bagaimana mereka sampai pada kesimpulan. Menjabarkan latar belakang proyek dengan jelas pada awal wawancara dan menetapkan metodologi untuk menarik kesimpulan untuk laporan merupakan salah satu bentuk transparansi.

Prinsip 9: Kerahasiaan
Desain proyek harus mencakup penilaian tingkat kerahasiaan yang diperlukan. Secara umum, praktisi harus menjaga kerahasiaan informasi dalam semua tahap proyek serta paska pelaksanaannya. Menjaga kerahasiaan sangat penting untuk memenuhi prinsip tidak menimbulkan kerugian (do no harm), menjaga integritas proyek, menjaga kredibilitas, dan meningkatkan efektivitas. Secara khusus, identitas korban dan penyintas-informan harus selalu dilindungi melalui langkah-langkah keamanan yang sesuai.

Prinsip 10: Keamanan
Selain langkah-langkah keamanan bagi responden sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, organisasi juga harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan keamanan anggota tim pemantauan. Langkah-langkah ini dapat mencakup mengharuskan anggota tim untuk: 1) Melapor kepada pemimpin tim atau anggota lain secara teratur dan setelah setiap wawancara; 2) Menghindari mengambil risiko yang dapat membahayakan keselamatan anggota tim atau orang lain; 3) Membawa telepon seluler; dan 4) Bepergian dengan berpasangan atau tim, terutama di daerah yang tidak aman.

Prinsip 11: Memahami konteks
Sebelum memulai proyek pemantauan, praktisi harus memahami komunitas tempat mereka akan bekerja. Praktisi harus melakukan penelitian pendahuluan untuk mengetahui masyarakat, sejarah lokal, struktur pemerintah, dan budaya. Selain itu, apabila relevan dengan mandat yang diberikan, praktisi juga harus memahami dinamika komunitas mikro, seperti adat istiadat, bahasa, sejarah masa lalu, dan struktur keluarga dan komunitas. Dalam kasus-kasus di mana masyarakat secara sengaja tidak dilibatkan sebagai pemantau untuk mencegah risiko, atau di mana banyak komunitas terlibat, pembentukan komite penasihat yang mewakili populasi itu dapat dilakukan untuk memastikan bahwa pencari fakta akan memahami dinamika di masyarakat terkait.

Prinsip 12: Pentingnya konsistensi, kegigihan dan kesabaran
Meskipun situasi akan berbeda dan keadaan yang tidak terduga mungkin saja timbul, praktisi harus berusaha untuk mengikuti protokol secara konsisten. Pemantauan hampir selalu memiliki tantangan, sehingga praktisi harus gigih, sabar dan fleksibel. Terkadang, praktisi mungkin perlu menyesuaikan atau mengubah protokol mereka untuk mencapai tujuan mereka. Mereka harus siap untuk melakukannya, tetapi harus ingat untuk menghormati mandat dan prinsip pemantauan lainnya sejauh mungkin.

Prinsip 13: Akurasi dan presisi
Protokol proyek harus menyediakan dasar untuk pengumpulan informasi yang akurat dan tepat. Praktisi harus mengajukan pertanyaan spesifik dan menyeluruh dan mengajukan pertanyaan lanjutan (follow-up) untuk mencari kejelasan. Pewawancara harus menulis catatan mereka sesegera mungkin setelah menyelesaikan wawancara, pada hari yang sama jika memungkinkan, untuk memastikan data seakurat mungkin. Praktisi juga dapat mengambil langkah-langkah dalam proses dokumentasi untuk meningkatkan akurasi dan presisi. Misalnya, jika praktisi tidak dapat menarik kesimpulan yang solid dari data mereka, temuan mereka mungkin masih tetap memiliki nilai tertentu. Dalam beberapa kasus, data dapat berbicara sendiri dan harus dimasukkan, mungkin dengan catatan (disclaimer) akan adanya keterbatasan untuk mencegah terganggunya pengambilan kesimpulan. Membangun mekanisme yang menguatkan, serta waktu untuk memeriksa fakta dan meninjau keakuratan kutipan akan memastikan pelaporan yang akurat. Terakhir, praktisi harus menyusun dan menerbitkan laporan secara tepat waktu untuk memastikan agar informasi yang disajikan tetap relevan.

Prinsip 14: Ketidakberpihakan dan objektivitas
Praktisi harus berusaha untuk bersikap objektif dan tidak memihak dalam semua tahap proses pemantauan dan dokumentasi. Misalnya, pencari fakta tidak boleh menunjukkan posisi politik atau bias terhadap pemerintah, pejabat, badan usaha, pihak yang diwawancarai, atau institusi terkait lainnya dalam melakukan pekerjaan mereka. Praktisi harus menerapkan prinsip ini ketika mengevaluasi temuan mereka. Mereka harus menghindari penggunaan titik referensi subyektif dan sebagai gantinya mengandalkan mandat proyek dan kerangka kerja HAM internasional sebagai standar dalam melakukan evaluasi.

Prinsip 15: Sensitivitas
Praktisi harus mempertimbangkan dengan seksama semua kemungkinan konsekuensi hukum dan sosial dari proyek yang dilakukan terhadap responden, keluarga mereka, dan masyarakat luas. Praktisi harus peka terhadap kemungkinan efek yang tidak diinginkan dari proses dokumentasi, seperti melanggengkan stereotip negatif atau meningkatkan konflik di antara kelompok yang berbeda. Praktisi juga harus peka terhadap kemungkinan konsekuensi dari pemilihan pencari fakta dan mempertimbangkan untuk menggunakan proses pemeriksaan. Organisasi harus melatih pemantau tentang bahaya yang mungkin dialami korban, konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang, serta potensi trauma ulang terhadap korban dan trauma sekunder pewawancara. Praktisi juga harus melatih pencari fakta tentang sensitivitas budaya dan bahasa khusus untuk komunitas yang berbeda.

Prinsip 16: Integritas dan profesionalisme
Praktisi harus selalu menunjukkan integritas, kejujuran, dan rasa hormat kepada seluruh pihak terkait dan anggota tim. Mereka harus mempertahankan sikap profesional, berpengetahuan luas dan melakukan ketekunan dan kompetensi dalam setiap pekerjaan mereka. Seperti disebutkan sebelumnya, pengawas harus menghindari membuat janji yang tidak dapat dipenuhi.

Prinsip 17: Visibilitas
Praktisi mungkin ingin mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa otoritas terkait dan masyarakat setempat menyadari bahwa pemantauan sedang dilakukan. Hal ini mungkin dilakukan dengan pertemuan dengan tokoh masyarakat yang dapat diidentifikasi. Tingkat informasi yang mereka ungkapkan tentang pemantauan akan tergantung pada sifat proyek. Dalam beberapa kasus, meningkatkan visibilitas masalah mungkin menjadi bagian integral dari desain proyek. Dalam melakukan hal itu, praktisi harus mempertimbangkan pertanyaan yang mereka rencanakan untuk diajukan kepada responden dan apakah pengetahuan publik tentang pertanyaan itu dapat menempatkan mereka pada risiko untuk kekerasan atau intimidasi lebih lanjut.

Referensi

  • UN, Professional Training Series No. 7, Training Manual on Human Rights Monitoring, 2002.
  • The Advocates for Human Rights, A Practitioner’s Guide To Human Rights Monitoring, Documentation, and Advocacy, 2011, hal. 15 – 17.
Scroll to Top
Scroll to Top
Ada yang dapat kami bantu?