Pendekatan dan Metode Pendidikan HAM Daring

Tahun 2020 merupakan momen unik karena hampir semua orang di dunia bergumul dengan krisis pandemi yang memaksa kita untuk mengikuti kebijakan karantina di rumah. Bagi para pendidik HAM yang biasanya mengadakan pelatihan di kelas tatap muka, sebenarnya mereka mendapat manfaat dari perkembangan pesat dan masif teknologi pendidikan dan metodologi pembelajaran daring. Berbagai perangkat dan platform telekonferensi tersedia. Ada banyak pilihan perangkat fasilitasi jarak jauh dan membangun Sistem Manajemen Pembelajaran (LMS). Namun, selain teknologi pendidikan yang semakin berkembang, sebenarnya penting melihat bagaimana perubahan tersebut mempengaruhi aktor yang terlibat dalam pendidikan HAM. Para Pendidik HAM harus memikirkan kembali kompetensi dan keterampilan dasar mereka dalam memfasilitasi kelas-kelas daring. Apakah mereka mampu mengubah rangkaian pelatihan yang awalnya dirancang  tatap muka menjadi  pelatihan daring yang efektif namun tetap partisipatif?

Berikut ini beberapa contoh praktis yang bisa jadi pertimbangan: Pertama, seperti pada kelas tatap muka, kursus HAM daring harus mencerminkan pembelajaran orang dewasa yang berpusat pada masalah dan solusinya (problem-posing), ketimbang berorientasi pada konten. Fasilitator harus memperlakukan peserta baik sebagai “murid yang belajar” dan juga sebagai “narasumber” yang mengetahui konteks atau masalah mereka sendiri.  Dalam pendekatan ini, peserta biasanya akan lebih tertarik bila materi yang disampaikan memiliki relevansi langsung dan berdampak pada konteks atau kehidupan mereka. Itulah alasan, kita perlu menyeimbangkan antara webinar, ceramah dan kuliah dengan diskusi interaktif, refleksi dan berbagi pengalaman antar peserta.

Kedua, memilih aplikasi telekonferensi yang baik dan stabil sangatlah penting. Saat ini, Zoom dan GoogleMeet adalah aplikasi yang banyak digunakan. Platform ini memberikan kesempatan kepada pelatih dan peserta untuk menerapkan berbagai metode yang mampu mendorong partisipasi dan keterlibatan peserta, mulai dari memberikan pendapat, pertanyaan, komentar, polling, atau bahkan diskusi kelompok di ruang terpisah/break-out. Perangkat tersebut juga memungkinkan  menggabungkan dan menampilkan curah pendapat partisipatif dengan kartu-kartu, semisal menggunakan whiteboard zoom, jamboard, sketchpad atau mentimeter. Dengan menguasai teknologi ini, fasilitator dapat dengan mudah mentransfer pengalaman dan di saat yang sama membangun keterlibatan kolektif dan dinamika kelompok dari kelas tatap muka ke dalam kelas online.

Ketiga, selalu ada keraguan apakah pelatihan online dapat membangun suasana emosional bagi peserta. Apakah mungkin menyampaikan pengalaman personal melalui pembelajaran jarak jauh? Sementara dalam program pelatihan HAM, hal ini penting agar aspek rasa dan emosi tidak hilang. Materi HAM bukan hanya tentang pasal-pasal dan mekanisme hukum, tetapi juga tentang nilai-nilai. Jadi, terlepas dari batasan layar, fasilitator harus kreatif menambahkan cerita, dokumenter, dan testimoni untuk memperkaya pengalaman. Kehadiran narasi dapat membangun empati individu agar jadi pembelajaran. Materi-materi bukan menjadi pajangan tetapi bagian analisis kritis untuk memahami persoalan lebih dalam, misalnya budaya penindasan.

Keempat, membuat silabus online dan sistem pengelolaan pembelajaran yang sistematis. Selain partisipasi dan membangun empati, penting melihat seberapa baik konten dan silabus pelatihan online disusun. Bagaimana silabus dirancang dan dikelola? Apakah isi dan prosesnya jelas dan memadai? Bagaimana bahan bacaan disiapkan? Platform apa yang digunakan untuk menyusun silabus dan materi agar sesama pelatih dan peserta dapat mengaksesnya secara efektif? Pendidik HAM dapat menyusun silabus kursus daring dan membagikannya kepada peserta melalui Learning Management System (LMS). Google Classroom, Moodle, atau WordPress adalah perangkat LMS yang dapat digunakan.

Kelima, umpan balik dan evaluasi kualitas pelatihan merupakan bagian penting untuk perbaikan program yang berkelanjutan. Ini adalah proses mengidentifikasi bagaimana pelatihan mencapai tujuan pembelajarannya. Fasilitator yang baik akan mengisi kesenjangan antara harapan aspiratif para peserta dan keterbatasan yang mereka hadapi. Banyak alat untuk evaluasi jarak jauh tersedia secara online.

Menjadi pendidik HAM berarti melakukan segala sesuatu yang diperlukan dalam semua aspek pembelajaran. Kita harus mengerahkan segala upaya untuk mengelola kelas, menyampaikan konten secara memadai, membagi energi positif, mendorong partisipasi dan keterlibatan, memeriksa kinerja peserta, serta memberi dan menerima umpan balik. Di saat yang sama, terus mempelajari eferensi tentang prinsip pedagogi dan andragogi serta menguasai teknologi pendidikan paling mutakhir. Dalam konteks ini, adanya sistem pendukung teknis sangat penting untuk pelatihan online.

Tahun 2020 adalah era baru di mana semua praktik dan kompetensi pendidikan HAM konvensional ditantang. Itulah alasan mengapa terus menerus berdiskusi dan merenungkan masalah ini memperluas kesempatan belajar dan mengungkap masalah yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Salah satu prioritas yang harus dikerjakan saat ini adalah menyiapkan TOT dan peningkatan kapasitas bagi pelatih atau fasilitator HAM sehingga pembelajaran online menjadi lebih efektif dan inklusif.

Scroll to Top
Scroll to Top
Ada yang dapat kami bantu?