Pandemi dan Hak Asasi Manusia

Pandemi Covid-19 yang terjadi secara global tahun 2020 ini telah berdampak pada kondisi penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan pemajuan HAM. Tantangan perlindungan HAM di masa pandemi mencakupi spektrum yang luas, bukan saja tantangan yang dihadapi aktivis HAM dalam melakukan advokasi namun juga dihadapi oleh pemerintah dan badan-badan negara dalam melakukan fungsi penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan pemajuaan HAM. Negara kemudian melakukan langkah-langkah luar biasa (exceptional measures) dalam menghadapi pandemi. Selama pandemi berbagai kebijakan pemerintah dan badan-badan negara lainnya dibentuk, misalnya kebijakan lockdown yang memunculkan isu-isu perlindungan kebebasan beagama/bekeyakinan, berekspresi, berkumpul dan sebagainya, atau kebijakan Mahkamah Agung bahwa persidangan sedapat mungkin dilakukan secara daring yang memunculkan kekhawatiran tentang persidangan yang akan melanggar fair trial.

Komisioner Tinggi PBB Michelle Bachelet, dalam merefleksikan isu HAM selama pandemi, menyatakan bahwa pandemi telah memperburuk masalah-masalah HAM yang sudah ada sebelumnya, utamanya semakin memperburuk perlindungan HAM bagi kelompok-kelompok paling rentan. Bachelet juga menambahkan bahwa terjadi dua dimensi krisis HAM dalam masa pandemi, yakni masalah kedaruratan kesehatan serta masalah ekonomi dan sosial. Berbagai negara kemudian juga merespon dua dimensi krisis tersebut dengan kebijakan yang berdampak besar pada HAM, misalnya memperkuat kekuasaan untuk memantau warga, mengancam privasi, membatasi secara eksesif kebebasan berpendapat dan berekspresi serta kebebasan pers, dan melecehkan para Pembela HAM. Negara-negara cenderung semakin meningkatkan kewenangan prerogatifnya, mengontol penduduk dan menyerang hak-hak dan kebebasan dasar warga negaranya.

Pada sisi yang lain, pandemi juga memberikan gambaran pentingnya penggunaan teknologi dalam advokasi hak asasi manusia (HAM). Berbagai aktivitas terkait dengan advokasi HAM, mulai dari pendampingan dan penanganan kasus, diseminasi HAM, sampai dengan pendidikan dan pelatihan HAM, sebagian besar mengharuskan atau “terpaksa” dilakukan dengan penggunaan teknologi. Lebih umum konsolidasi gerakan masyrakat sipil untuk advokasi HAM juga sebagian besar mendasarkan pada penggunaan sarana teknologi dan dilakukan secara online. Pada masa pandemi sekarang ini, internet dan teknologi informasi semakin menjadi sarana dan bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas advokasi HAM.

Perubahan kondisi, sebagaimana pandemi saat ini, memaksa para aktivis HAM untuk berfikir lebih keras, kreatif dan “paham” teknologi. Advokat HAM misalnya, dalam penanganan kasus harus melakukan pembelaan dari jarak jauh karena pengadilan yang menetapkan persidangan dilakukan secara online sembari memastikan bahwa hak-hak kliennya terlindungi dan peradilan tetap dilaksanakan secara adil, pendidik HAM harus berfikir keras untuk memastikan pelatihan HAM daring dilakukan dengan semaksimal mungkin berhasil sebagaimana jika pelatihan dilakukan secara konvensional, pendamping korban yang tidak bisa kembali bertemu korban secara langsung dan harus melalui online, atau memastikan konsolidasi gerakan dan advokasi HAM tetap “aman” meskipun dilakukan dengan cara online yang cenderung mudah untuk disusupi, di-intercept atau diganggu pihak-pihak lainnya.

Menghadapi kondisi demikian, advokasi HAM memerlukan membangun narasi advokasi HAM untuk memastikan kebijakan atau langkah-langkah negara sesuai dengan prinsip-prinsip HAM dan memerlukan perubahan strategi, cara, metode, atau gerakan HAM. Negara, sebagaimana diuraikan diatas semakin sering menggunakan justifikasi atau argumen untuk melanggar atas membatasi HAM dengan alasan pandemi, sehingga perlu membangun narasi bahwa pandemi bukan justifikasi untuk melanggar hak-hak warga negara dan segala bentuk pengurangan dan pembatasan penikmatan HAM harus dilakukan berdasarkan pada alasan-alasan yang dapat dibenarkan.

Hal ini misalnya, dalam konteks hak-hak sipil dan politik, pembatasan kebebasan bergerak sebagai manifestasi dari kebijakan lockdown haruslah mempunyai jangka waktu yang jelas dan pasti (definite) dan persidangan melalui online harus dilaksankaan dengan tetap memastikan penerapan prinsip-prinsip fair trial. Dari sisi hak-hak ekonomi dan sosial, sebagaimana bahwa pandemi telah berdampak pada kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, kebijakan negara harus mendasarkan pada pemenuhan hak-hak ekonomi dan sosial, baik dalam kebijakan jangka pendek yang harus dipenuhi segera (immediate response) atau pemenuhan dalam jangka panjang dan bertahap (progressive realization). Keduanya mensyaratkan adanya kebijakan yang meastikan terpenuhinya berbagai kebutuhan dasar (basic needs) di bidang ekonomi dan sosial yang dibutuhkan warga.

Artinya, hak asasi manusia haruslah menjadi pusat atau pertimbangan utama dalam semua kebijakan dan program terkait dengan respon negara atas pandemi sehingga memperjelas posisi bahwa respon dan kebijakan terkait dengan pandemi haruslah mentarget virus dan bukan warga negara. Kelompok-kelompok khusus yang rentan, misalnya orang tua dan kelompok miskin, harus menjadi perhatian dan mendapatkan perlindungan khusus. Kebijakan-kebijakan yang dibentuk harus mencerminkan kebijakan dalam jangka pendek dan kebijakan dalam jangka panjang.

Sementara dari sisi internal masyarakat sipil, perlu untuk memikirkan kembali strategi dan memperluas metode advokasi HAM untuk mendapatkan dampak yang lebih besar. Inovasi-inovasi dalam penggunaan teknologi misalnya, menjadi elemen penting dalam advokasi HAM untuk mengatasi masalah-masalah jangka pendek yang dihadapi dan sekaligus memperkuat metode advokasi dalam jangka panjang. Hal ini mensyaratkan organisasi masyarakat sipil mengenali berbagai perkembangan teknologi yang berguna bagi advokasi, membangun infratruktur teknologi, serta memastikan individu yang terlibat dalam advokasi memahami teknologi yang digunakan, termasuk memahami resiko yang muncul dan cara-cara menghadapinya jika menggunakan teknologi tertentu dalam advokasi.

Scroll to Top
Scroll to Top
Ada yang dapat kami bantu?